Pada Jumat (2/12), Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkuham), Raoul Wallenberg Institute, dan Pusat Studi Paguyuban Hak Asasi Manusia UNPAD (PAHAM) menyelenggarakan lokakarya secara hybrid di Akmani Hotel, DKI Jakarta mengenai pengungsian dalam konteks bencana dan perubahan iklim di kawasan Asia dan Pasifik. Kegiatan dihadiri oleh berbagai kementerian, lembaga, organisasi masyarakat dan akademisi, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Komnas HAM, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia dan Universitas Indonesia.
Dalam pidato pembuka kegiatan, Dr. Mualimin Abdi, Dirjen HAM Kemenkumham, menyampaikan bahwa isu perpindahan penduduk akibat bencana dan perubahan iklim adalah juga isu kemanusiaan, di samping isu kebencanaan, karena juga menyangkut kebebasan manusia untuk bergerak dan berpindah tempat. Namun pendekatan upaya mitigasi dampak perubahan iklim dan bencana yang ada masih cenderung dari aspek kebencanaan saja, belum dari sisi kemanusiaannya.
Chloryne Dewi, LL.M., peneliti PAHAM, kemudian merespon terhadap ketiadaan pendekatan HAM dalam kerangka hukum terkait mobilitas penduduk akibat bencana dan perubahan iklim dengan mendorong identifikasi aspek HAM dalam mobilitas penduduk dan dampak perubahan iklim pada masyarakat serta pengadopsian indikator pemenuhan HAM dalam upaya penanggulangan isu tersebut demi pengarusutamaan HAM dalam mitigasi perubahan iklim.
Chloryne kemudian membandingkan upaya Indonesia dengan praktik mitigasi perubahan iklim di Fiji yang secara tegas menggunakan pendekatan HAM dalam kebijakannya untuk melakukan relokasi terencana bagi penduduk terdampak bencana dan perubahan iklim. Fiji mengupayakan agar proses relokasi tetap menghormati dan melindungi HAM penduduk dengan, antara lain, mengedepankan transparansi, audiensi publik, dan pemenuhan HAM relevan, seperti hak atas air, hak atas lingkungan yang sehat dan bersih, dan hak atas tempat tinggal yang layak.
Ayu Utami, yang mewakili BNPB sebagai salah satu pemapar, menyampaikan bahwa Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024 (RENAS PB) dapat menjadi salah satu sarana atau pintu masuk bagi pendekatan HAM dalam penanggulangan dampak perubahan iklim dan bencana, karena RENAS PB telah mencantumkan upaya penanggulangan bencana (disaster management) dalam situasi normal (pre-disaster), pada saat bencana, dan post disaster, seperti melalui sistem peringatan dini (early warnings system) dan upaya tanggap bencana. RENAS PB juga sudah mencantumkan berbagai kategori HAM, seperti hak hidup dan hak atas penghidupan yang layak dalam proses disaster management.
Hasil diskusi dengan peserta lokakarya diantaranya menyepakati perlunya pendekatan HAM secara holistik dalam merespon perubahan iklim dan penanggulangan bencana termasuk memasukannya sebagai salah satu prioritas RANHAM. Peserta pun mengapresiasi dan mendorong kegiatan kolaboratif ini dalam rangka penguatan pendekatan HAM dalam perubahan iklim dan penanggulangan bencana agar dapat terus berlanjut. Namun lokakarya ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi para stakeholders terkait, diantaranya perlunya kesepakatan bersama untuk mendefinsikan perubahan iklim sebagai bencana atau sebagai krisis, bagaimana memenuhi HAM masyarakat dalam upaya mitigasi bencana terkait perubahan iklim di satu sisi namun di sisi lain membatasi HAM tertentu misalnya bagi masyarakat yang bersikeras untuk tidak berpindah tempat tinggal, padahal permukimannya dalam bahaya, perlunya pengaturan yang lebih tegas mengenai pendekatan HAM dalam perubahan iklim dan penangulangan bencana hingga ke tingkat pelaksanaan di daerah sehingga haluan kebijakan, peraturan, dan pedoman teknis yang akan diadopsi dapat dengan jelas dituangkan.
Dalam kesempatan ini, PAHAM juga menerima kenang-kenangan dari MPBI berupa buku terjemahan Sphere project yang meupakan panduan pendekatan HAM dalam kebencanaan yang digunakan oleh organisasi internasional, PMI dan organisasi masyarakat dalam penanggulangan bencana.


