
Pada Kamis (10/11), untuk pertama kalinya di Indonesia isu Flight Information Region (FIR) dibahas secara mendalam dari perspektif operasi penjagaan keamanan di laut. Pembahasan dilakukan dalam acara “Padjadjaran Dialektika” yang diselenggarakan Indonesian Center for International Law dan Departemen Hukum Internasional. Acara bertema khusus: “Realignment Agreement of Jakarta Flight Information Region (FIR) – Singapore FIR 2022 dan Dampaknya untuk Keamanan di Laut dan Udara” tersebut, dilaksanakan secara hybrid di Auditorium Tommy Koh-Mochtar Kusumaatmadja Jatinangor.
Laksdya TNI Dr. Aan Kurnia sebagai Kepala Badan Keamanan Laut Republik Indonesia, memaparkan bahwa perjanjian Realigment FIR yang baru saja diratifikasi Indonesia memunculkan permasalahan operasi pengamanan laut. Sekalipun FIR secara substansi berkaitan dengan wilayah dan keamanan di udara, FIR juga berdampak signifikan terhadap keamanan di laut. Operasi keamanan di laut tidak akan optimal tanpa bantuan sarana di udara sehingga kapal yang digunakan harus diiringi oleh pesawat terbang. Dengan demikian, seluruh pergerakan kapal penjagaan keamanan laut di bawah wilayah yang delegasikan dari FIR Jakarta ke FIR Singapura dapat diketahui, karena adanya kewajiban melapor ke FIR Singapura.



Selain Laksdya TNI Dr. Aan Kurnia, hadir pula Marsekal (Purn.) Chappy Hakim sebagai Ketua Umum Indonesia Center for Air Power Studies, dan Prof. Atip Latipulhayat, selaku guru besar Hukum Internasional UUNPAD. Atip menerangkan bahwa dalam konteks operasional, FIR memang tidak ada kaitannya dengan kedaulatan, karena berhubungan dengan keselamatan penerbangan, namun tetap memiliki aspek-aspek kedaulatan, karena pembagian kewilayahan FIR didasarkan pada kedaulatan negara. Pengoperasian dan pengambilalihan FIR oleh Indonesia sebenarnya telah dituangkan dalam UU Penerbangan, namun peraturan presiden yang mendelegasikan FIR kepada Singapura mencederai tujuan ketentuan dalam Undang-Unda Penerbangan tersebut.
Pada kesempatan yang sama Chappy Hakim menambahkan bahwa FIR hanya diberikan kepada negara, karena kedaulatan yang dimiliki negara tersebut dan kedaulatan tersebut berkaitan dengan konsep kebebasan beraktivitas, artinya suatu negara tidak perlu memperoleh izin terlebih dahulu untuk beraktivitas di wilayahnya sendiri. Kebebasan beraktivitas ini juga disinggung oleh Laksdya TNI Dr. Aan Kurnia. Beliau menambahkan dalam pengoperasian FIR oleh Singapura, baik pesawat sipil maupun militer yang melintasi wilayah FIR harus memberikan informasi kepada FIR, sehingga tidak ada pula kerahasiaan pergerakan pesawat patrol maritim atau militer, sehingga menyulitkan atau membatasi ruang gerak kementerian dan lembaga Indonesia dalam operasi pengawasan dan search and rescue (SAR). Terlebih lagi, dalam operasi SAR, FIR menjadi dasar penentuan operasi; untuk membatasi parameter operasi dan pengambilan data atau informasi awal sebagai dasar pelaksanaan operasi. Dalam operasi pengawasan, tidak hanya pesawat, namun FIR juga menyulitkan pengoperasian drone, karena harus memiliki izin dari FIR untuk melakukan surveillance di ruang udara dan wilayah laut.
Ketiga narasumber sepakat bahwa terlepas apakah FIR ini urusan keamanan atau kedaulatan, faktanya ada gangguan terhadap kebebasan beraktivitas di negeri sendiri dengan adanya keharusan untuk memperoleh ijin dari negeri lain. Jika bukti dari negara yang berdaulat adalah dengan adanya kemerdekaan bergerak di wilayahnya sendiri, maka FIR ini bisa menjadi bukti bahwa Indonesia belum sepenuhnya berdaulat di wilayah laut dan udaranya.
Sebelumnya diketahui bahwa, permasalahan FIR sebagai topik Padjadjaran Dialektika adalah sebagai respon lahirnya Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2022 yang dianggap sebagai keberhasilan Indonesia mengembalikan pengelolaan ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna kepada Indonesia dan menambah luasan FIR Jakarta. Namun, Indonesia masih mendelegasikan pengoperasian FIR kepada Singapura selama 25 tahun ke depan dan dapat diperpanjang. Hal ini mengundang perhatian para akademisi serta praktisi di bidang hukum udara dan hukum laut khususnya perihal kemungkinan dampaknya bagi kerawanan kemanan udara dan laut di Indonesia.
“Padjadjaran Dialektika’ adalah kegiatan bulanan yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum Internasional yang bertujuan untuk menjadi wadah bagi para ahli hukum khususnya di tingkat nasional untuk bertukar pikiran dan pandangan perihal permasalahan-permasalahan hukum internasional yang berhubungan dengan Indonesia. Acara ini diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan pemahaman masyarakat luas secara komprehensif terhadap aturan hukum baik nasional maupun internasional sehingga dapat menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan hukum ke depan lainnya yang terjadi di Indonesia.
(*.* Sigar AP)