‘*RKUHP HARUS PERKUAT KARAKTER KODIFIKASI HUKUM PIDANA, RESPONSIF ATAS PERKEMBANGAN KEJAHATAN, & ANTISIPATIF TERHADAP PROYEKSI IMPLEMENTASI PADA TATARAN PRAKTIK*’
Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 diselenggarakan sebagai bentuk kepedulian sejumlah akademisi terhadap substansi dan proses pembahasan Rancangan KUHP Nasional yang masih disempurnakan oleh Pemerintah hingga detik ini. Kegiatan yang dilaksanakan pada Rabu-Kamis, 22-23 Juni 2022 ini membahas 4 (empat) tema fundamental dalam penyusunan RKUHP, yaitu (a) Tujuan Pembaruan RKUHP; (b) Kodifikasi dalam Politik Hukum Pidana Indonesia; (c) Harmonisasi Delik untuk Pembaruan KUHP; dan (d) Uji Implementasi RKUHP.
Dalam proses diskusi yang berkembang pada forum akademik tersebut, Konsultasi Nasional ini menghasilkan kesimpulan bahwa penyempurnaan RKUHP harus dilakukan dengan memerhatikan beberapa hal di bawah ini:
1. Proses dekolonialisasi hukum pidana tidak boleh dimaknai secara terbatas pada penyusunan Rancangan KUHP Nasional yang berbahasa Indonesia. Dekolonialisasi justru harus dilakukan dengan mengevaluasi ketentuan pidana yang memang secara khusus digunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menunjukkan watak kolonialismenya, seperti pidana mati, penghinaan Presiden/Wakil Presiden, penghinaan terhadap Pemerintah, penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, dan sebagainya.
2. Model penerapan pidana mati yang digunakan RKUHP masih belum sepenuhnya mewujudkan misi dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana. Seharusnya pidana mati dihapuskan dari sistem hukum pidana nasional Indonesia. Seandainya masih diterapkan, RKUHP perlu menjamin diberikannya masa percobaan selama 10 tahun secara otomatis dan tidak diserahkan pada penilaian hakim di persidangan. Begitu juga dengan mekanisme perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup yang harus dihitung sejak putusan berkekuatan tetap dan tidak digantungkan pada penolakan grasi seperti masih diatur dalam Pasal 101 RKUHP.
3. Skema pengakuan terhadap nilai dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat yang digunakan untuk menghukum perbuatan seseorang dalam Pasal 2 RKUHP justru kontraproduktif dengan dinamika kehidupan masyarakat adat. Dengan mengambil alih penyelesaian permasalahan di masyarakat adat, Negara membenarkan instrumen penegakan hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk memproses konflik tersebut dan berpotensi mematikan pranata yang selama ini berkembang di lingkungan masyarakat adat dimaksud.
4. Proses kriminalisasi yang dilakukan RKUHP belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan terhadap proses demokratisasi hukum pidana. Masih dipertahankannya delik-delik yang memberikan perlindungan berlebih terhadap ideologi dan simbol negara, termasuk penghinaan yang ditujukan terhadap Presiden/Wakil Presiden, pemerintah, penguasa atau badan umum, dan mengancamkan pidana yang berat bagi pelanggarnya justru bertolakbelakang dengan misi demokratisasi hukum pidana yang diusung RKUHP.
5. Proses konsolidasi dan harmonisasi hukum pidana terhadap perkembangan asas dan tindak pidana di Indonesia juga belum dilakukan dengan optimal. RKUHP belum memberikan respon terhadap liarnya tafsir ‘makar’ dalam praktik penegakan hukum yang diartikan secara serampangan. Padahal, ‘makar’ seharusnya dikembalikan kepada makna asalnya dalam Bahasa Belanda, yaitu ‘aanslag’ yang berarti ‘serangan’. Sementara itu, istilah ‘makar’ yang diatur dalam Pasal 87 KUHP harus secara terbatas diartikan sebagai konteks pertanggungjawaban pidana untuk delik tersebut.
Pada bagian lainnya, RKUHP belum melakukan harmonisasi terhadap ketentuan pidana yang tersebar di UU lain secara teliti. Pasal 27 ayat (3) UU ITE belum dicabut dan diselaraskan dengan tindak pidana pencemaran yang diatur dalam Pasal 439 RKUHP. Sementara itu, delik-delik kekerasan seksual dalam UU TPKS dan UU Pornografi juga belum direspon oleh RKUHP. Padahal banyak irisan antara delik-delik tersebut dengan tindak pidana serupa di RKUHP. Selain itu, RKUHP belum menentukan tindak pidana apa saja yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual sehingga konsep blanco strafbepalingen dalam Pasal 4 ayat (2) huruf j UU TPKS dapat dijalankan dengan baik.
6. RKUHP juga belum memberikan perhatian khusus terhadap posisi strategis RKUHP sebagai rekodifikasi hukum pidana. Hingga detik ini, tidak ada satu ketentuan pun dalam RKUHP yang mempertegas hal ini berikut memberikan konsekuensi bahwa pengesahan ketentuan pidana di kemudian hari harus berpedoman pada ketentuan Buku 1 dan Buku 2 RKUHP. Keberadaan pengaturan yang demikian akan berdampak signifikan terhadap keselarasan dan harmonisasi asas-asas hukum pidana dan penentuan keseriusan delik serta berat-ringannya ancaman pidana.
7. Sistem kodifikasi merupakan suatu sistem yang sangat penting dalam perundang-undangan, terutama dalam ranah hukum pidana. Kodifikasi tidak dapat dimaknai sekedar mengesahkan RKUHP. Pengesahan RKUHP seharusnya dimaknai sebagai babak baru dalam membangun sistem kodifikasi agar sistem hukum pidana lebih sistematis, efisien, dan responsif.
Saat ini, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih sangat minim memberikan perhatiannya terhadap model legislasi berbentuk kodifikasi seperti RKUHP. Jika ingin menjalankan sistem kodifikasi hukum pidana secara konsisten, diperlukan pedoman yang lebih jelas untuk:
a. Menentukan kapan suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana;
b. Mengidentifikasi karakteristik tindak pidana yang dapat diinkorporasikan ke dalam (R)KUHP maupun yang akan tetap dirumuskan di luar (R)KUHP; dan
c. Memastikan perumusan ancaman pidana untuk delik-delik baru, baik yang akan dimasukkan ke dalam maupun dirumuskan di luar (R)KUHP, tetap mengacu pada sistem pemidanaan yang diatur (R)KUHP.
Guna mendukung berlangsungnya sistem kodifikasi di atas, praktik perundang-undangan Indonesia juga perlu disesuaikan untuk mengakomodasi hal-hal sebagai berikut:
a. Dimungkinkannya suatu undang-undang merevisi, mencabut atau menambah materi dalam UU lain;
b. Berubahnya model publikasi perundang-undangan Indonesia yang tidak hanya dipublikasikan berdasarkan nomor dan tahun, tetapi Pemerintah juga harus mempublikasikan perundang-undangan yang telah dikonsolidasikan dalam satu naskah utuh khusus untuk perundang-undangan yang telah mengalami perubahan; dan
c. Diperlukan kejelasan mengenai institusi yang memiliki fungsi sebagai ‘clearing house’ dalam setiap perancangan undang-undang yang akan mengatur ketentuan pidana, untuk memastikan ketentuan pidana yang akan diatur (1) sinkron dengan sistem KUHP dan (2) memastikan delik yg bersifat generic diinkorporasikan ke dalam KUHP.
8. Pengesahan RKUHP akan sangat berdampak pada overkriminalisasi dan berpotensi besar membuka ruang penyalahgunaan oleh penegak hukum seandainya mekanisme hukum acara pidana masih mengacu pada KUHAP saat ini. Dengan minimnya judicial scrutiny dalam KUHAP – yang dapat digunakan untuk memastikan pelaksanaan upaya paksa dijalankan dengan tepat dan tidak berdasarkan subyektivitas penydik – dan masih cukup banyaknya rumusan unsur tindak pidana di RKUHP yang bersifat multitafsir, dikhawatirkan perbaikan yang diinginkan di level praktik tidak akan tercapai secara signifikan.
9. Diperkenalkannya mekanisme maupun jenis pidana baru akan berdampak pada berubahnya kerja penegakan hukum. Banyaknya peraturan internal di tiap-tiap lembaga penegak hukum juga perlu dievaluasi dan diperketat agar rule of the game yang berbasiskan profesionalitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dapat dijalankan sama dalam berbagai perkara.
10. Dengan begitu banyaknya perubahan yang dirumuskan RKUHP, waktu transisi selama 2 tahun yang diatur dalam Pasal 628 RKUHP tidak cukup untuk menyiapkan implementasi ketentuan baru tersebut. Pendekatan pemberlakuan suatu UU berdasarkan tenggat waktu semata terbukti banyak mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pengaturan pemberlakuan RKUHP seharusnya tidak ditetapkan berdasarkan tenggat waktu, namun dengan undang-undang tersendiri dengan mengatur hal-hal yang harus dilakukan Pemerintah untuk memastikan kesiapan penegak hukum, masyarakat, peraturan-peraturan pelaksana, maupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem baru di RKUHP.
11. Idealnya, perubahan RKUHP juga diikuti dengan hukum acara pidana yang selaras dengan perubahan tersebut. Oleh karenanya, akan lebih baik apabila pemberlakuan RKUHP ditetapkan bersamaan dengan pemberlakuan RKUHAP.
Jakarta, 26 Juni 2022
Penyelenggara Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022
1. Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya
2. Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjajaran
3. Lembaga Bantuan Hukum Pengayoman Universitas Katolik Parahyangan
4. Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia
5. Pusat Studi Anti-Korupsi dan Kebijakan Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga
6. Universitas Bina Nusantara
7. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
8. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
9. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
10. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa
Narahubung:
Dr. Fachrizal Afandi, S.H., S.Psi., M.H.
PERSADA Universitas Brawijaya
fachrizal@ub.ac.id
Dr. Nella Sumika Putri, S.H., M.H.
Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran
nella.sumika.putri@unpad.ac.id